Sabtu, 10 Maret 2012

Agar Amal Tetap Bermakna


Hidup hanya sementara, sementara akhirat pasti adanya. Banyak orang yang tertipu dengan gemerlapnya dunia. Siang dan malam beramal hanya untuk dunianya. Tidak terbersit sedikitpun amal untuk akhiratnya. Sehingga ketika nyawa telah melayang dan tubuh terbujur kaku barulah sadar dan menyesali atas apa yang diperbuat di dunianya. Tetapi penyesalan itu tiada guna karena memang tidak ada kesempatan yang ke dua kalinya. Allah Ta’ala berfirman :
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami Telah melihat dan mendengar, Maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin." [ As Sajdah : 12 ]

 
Maka seorang hamba yang cerdas pasti akan mempersiapkan segala sesuatu untuk akhiratnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan seseorang diakhirat kecuali amal shalihnya. Harta yang melimpah, anak-anak yang berhasil, serta rumah yang indah tidak ada artinya jika ia tidak memiliki amal shalih sebagai bekal menuju penciptanya.
Maka betapa indahnya ketika setiap amal yang kita lakukan bernilai ibadah. Saat kita makan dinilai ibadah, saat kita minum dinilai ibadah, bahkan hubungan suami istri dinilai ibadah. Dan juga bekerjanya kita untuk memenuhi kebutuhan keluarga dinilai ibadah.
Sebaliknya, sungguh celaka orang yang setiap detik kehidupannya tidak pernah dinilai Allah sebagai ibadah. Bahkan bekerjanya siang dan malam, peras keringat banting tulang dan bahkan dirinya sendiri tidak terurus, tapi tidak dinilai ibadah oleh Allah Ta’ala.
Apa sebenarnya kunci dari semua itu ?. Jawabanya mudah, tetapi penerapannya yang mungkin agak sulit. Jika ingin amal anda bermakna dan dinilai ibadah oleh Allah Ta’ala, pertama, maka hendaklah engkau menjadi orang yang beriman dan mentauhidkan-Nya. Kedua, harus ikhlas karena Allah Ta’ala. Dan yang ketiga adalah ada tuntunan dari Rasulullah sallallahu alaihiwasallam.

Pertama adalah menjadi seorang mukmin dan mentauhidkan Allah Ta’ala. Setiap orang wajib untuk menjadi orang yang beriman, jika ingin seluruh amalannya bermakna. Setelah beriman, ia juga wajib untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dalam uluhiyah, rububiyah dan asma’ washifat-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
   إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh bagi mereka surga Firdaus menjadi tempat tinggalnya.” (Terj. Al-Kahfi: 107).
Imam As sa’di berkata : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan hati mereka, dan beramal shalih dengan anggota badan mereka, dan sifat ini mencakup seluruh urusan diin, aqidahnya, amalannya, yang pokok dan yang cabang, yang nampak dan yang tidak nampak; maka mereka itu – sesuai dengan tingkatan iman dan amal shalih – mendapatkan surga firdaus. [ Tafsir As Sa’di pada ayat tersebut ].
Betapa senangnya kita ketika sudah menjadi orang mukmin yang mentauhidkan Allah Ta’ala. Karena modal yang harus ada agar amal tetap bermakna adalah iman. Betapa banyak orang yang telah mengelurakan hartanya untuk membangun jalan, jembatan dan bahkan membangun masjid. tetapi amalannya tidak dicatat Allah Ta’ala dan menjadi sarana dia masuk jannah. Tetapi betapa banyak amal sedikit yang dilandasi keimanan yang mantap akan janji Allah Ta’ala menjadi penyebab seseorang masuk jannah.
Tugas kita sekarang adalah menjaga iman, agar tetap ada dalam diri kita dan bahkan bertambah terus dengan berbagai amal shalih. Apa artinya iman yang tidak dibuktikan dengan amal, atau amal yang tidak dilandasi iman. Dan lebih parah lagi orang yang tidak beriman dan amalnnya jauh dari kebaikan.
Yang kedua, ikhlas karena Allah Ta’ala. Ikhlas artinya memurnikan setiap amalan hanya untuk Allah Ta’ala. Dari mulai urusan ibadah yang mahdhoh sampai urusan-urusan duniawi kita. Jika mencari nafkah, makan dan minum kita semuanya hanya untuk Allah, maka akan dinilai ibadah.
Amal yang iklas memiliki maqom yang tinggi dihadapan Allah Ta’ala. Karena orang yang ikhlas tidak akan bertambah baik amalannya hanya karena pujian, sebaliknya tidak akan kendor dengan ejekan atau sindiran.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
Artinya: “Beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2)
Ayat ini memerintahkan pada kita untuk mengikhlaskan amal hanya pada Allah Ta’ala. Maka jika ketika kita menjadi imam shalat, bacaan Quran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat, dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal. 
Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqamah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan ALLOH. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini. 
Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikannya adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani. 
Kedahsyatan dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkanya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat hati sudah meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, "Ya ALLOH saya ingin tahajud, bangunkan jam 03. 30 ya ALLOH". Weker pun diputar, istri diberi tahu, "Mah, kalau mamah bangun duluan, bangunkan Papah. Jam setengah empat kita akan tahajud. Ya ALLOH saya ingin bisa bersujud kepadamu di waktu ijabahnya doa". Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud. 
Sayangnya, ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena ia masih kebagian pahalanya. Bagi orang yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh ALOH, maka kalau ia sudah bertekad, ALLOH pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin ALLOH tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras banyak tenaga. ALLOH Maha tahu apa yang akan terjadi, ALLOH juga Maha tahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya ALLOH-lah yang menidurkan kita dengan pulas. 
Yang ketiga adalah sesuai dengan ajaran Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Syarat ibadah kita diterima Allah Ta’ala adalah mengikuti Rasulullallah sallallahu alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali lmran : 31).
Imam Ibnu Katsir berkata : ayat yang mulia ini sebagai bantahan bagi orang-orang yang mengaku cinta pada Allah akan tetapi tidak mengikuti jalan nabi Muhammad, maka dia dusta dengan pengakuannya. Sampai mengikuti syari’at nabi Muhammad dalam seluruh perkataan dan keadaannya, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihiwasallam :Barang siapa beramal yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.[ Tafsir Ibnu katsir ].
Dari sini jelaslah bagi kita akan wajibnya meniru Rasulullah sallallahu alaihiwasallam dalam beribadah dan mu’amalah. Bahkan jika pengakuan saja tanpa dibarengi dengan amalan lesan dan anggota badan dianggap bohong oleh islam. 
Sebagai penutup, marilah kita memohon pada Allah Ta’ala untuk beramal dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah sallallahu alaihiwasallam. Karena hanya dengan itulah amal kita akan bermakna dan dicatat Allah Ta’ala sebagai amal shalih yang akan kita jadikan bekal nanti di akhirat. Yakinlah bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya yang beriman. [ Amru ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar