Senin, 14 Februari 2011

Menggapai beningnya hati



Semaraknya ummat islam untuk menata hati dan membersihkannya dari berbagai kotoran adalah sesuatu yang membanggakan. Ramainya majlis-majlis pengajian mulai dari managemen qolbu, bengkel hati, terapi dengan shalat khusu’ dan yang lainnya. Tak kalah ramainya, majalah dan bulletin disebar dengan tema-tema hati. 

Semuanya bertujuan agar para peserta pengajian dan juga pembaca bisa menangis karena dosa yang telah dilakukannya. Atau juga mendapatkan kesejukan hati dan dinginnya jiwa sebagai solusi dari ketidak tenangangan jiwa karena berbagai permasalahan duniawinya. Akan tetapi tekadang banyak diantara mereka yang tidak paham tentang berbagai masalah tauhid dan dosa-dosa besar, sehingga masih melakukan berbagai kemaksiatan dan kesyirikan karena tidak memprioritaskannya.

Adalah ahlussunnah wal jama’ah, yang mereka itu ahlul atsar dan ahlul hadist demikian juga orang yang paling mencontoh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Mereka telah membersihkan diri mereka dengan apa yang dicontohkan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam ketika membersihkan jiwa-jiwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Tidaklah mereka membuat satu kebid’ahan dalam membersihkan jiwa seseorang, juga tidak menempuh jalan yang menyelisihi nabi sallallahu alaihi wasallam. Mereka senantiasa melandasi setiap keyakinan, perbuatan dan lisannya dengan ilmu, tidak dengan yang lainnya. 

Cara membersihkan hati ala salaf
Adalah syaikh Dr. Ahmad Farid dalam buku beliau At tazkiyatu baina Ahlussunnah Wa As Sufiyah, menjelaskan; bahwa tazkiyatun nufush [ membersihkan hati ] yang dilakukan oleh para salaf yaitu dengan tiga hal :

Pertama : Membersihkan hati dengan meluruskan aqidah. Yaitu dengan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam uluhiyah, rububiyah dan dalam asma’ dan sifat-Nya. Jika hati telah dipenuhi dengan tauhid yang benar dan juga menjauhi kesyirikan, maka akan terpancar dalam dirinya akhlaq yang mulia dan jiwa yang tenang.
Tidak diragukan lagi bahwa yang paling wajib jika kita akan membersihkan jiwa adalah dengan mentauhidkan Allah Ta’ala. Di dalam Al quran Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musrik itu najis. [ QS. At Taubah : 28 ]

Najis disini adalah kekotoran dalam aqidah mereka serta amalan mereka. Dan najis mana lagi yang lebih besar dari pada menyembah bersamaan dengan Allah sembahan lain yang tidak memberi manfaat dan madharat, dan juga tidak memberi manfaat darinya sedikitpun ? [ Tafsir As Sa’di pada ayat tersebut ].

Sedangkan tugas yang pertama kali dilakukan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dalam membersihkan jiwa para sahabat adalah menanamkan tauhid pada jiwa-jiwa mereka. Bukan mengajak pada sabar, qona’ah, zuhud dan akhlaq-akhlaq lainnya padahal mereka masih berbuat kesyirikan. Allah ta’ala berfirman :

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Jumu’ah: 2)

Dari ayat ini jelas bahwa Rasulullah sallallah alaihi wasallam membersihkan tauhid para sahabat dari berbagai noda kekafiran dahulu sebelum dengan yang lainnya. Setelah itu mereka juga diperintahkan untuk berakhlaq dengan akhlaq-akhlaq yang mulian dan dijauhkan dari akhlaq-akhlaq yang hina. Baru kemudian diajarkan kepada mereka al quran dan as sunnah.

Dengan tahapan itulah mereka kemudian menjadi generasi yang paling paham terhadap islam. Generasi yang paling baik ahklaqnya. Dan sebagai generasi yang menjadi rujukan dari zaman-kezaman. Maka ikutilah mereka, pasti kalian akan mendapat petunjuk.

Maka apalah artinya tazkiyah dengan tangisan kepada Allah Ta’ala, dzikir yang lama, shalat yang lama ? bersamaan dengan itu dia menserikatkan Allah Ta’ala dalam kehidupannya. Apalah artinya tangisan yang dibuat-buat dibarengi dengan rajinnya ia pergi ke dukun dan tukang ramal. Dan apa artinya shalat yang khusu’ serta panjang jika diniatkan hanya untuk terapi penyakit badan yang ia alami. Dan apa artinya shadaqoh yang banyak jika hanya untuk mendapatkan kekayaan dunia semata dan tidak ada keinginnan balasan sedikitpun di akhirat. Lebih parah lagi mereka yang membersihkan diri dengan hal-hal yang dilarang Allah Ta’ala; seperti bernasyid dengan sura yang syahdu  atau juga dzikir dengan tidak jelas dan dengan menggeleng-gelengkan kapala dengan keras. Jelas ini adalah ajaran sesat yang tidak dilakukan oleh para pendahulu kita.

Mulailah pada diri kita untuk berbuat ikhlas dalam setiap amal kita. Shalat kita, shadaqoh kita serta berbagai amalan kita harus ditujukan hanya kepada Allah Ta’ala semata.  Boleh-boleh saja kita memakai wasilah amal shalih kita untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia. Tetapi tidak boleh kemudian berhenti pada kesenangan dunia saja tanpa ada permintaan yang lebih besar yaitu kenikmatan di akhirat kelak. 

Aqidah yang kuat disertai amal shalih pasti akan mendatangkan ketentraman dan ketenangan jiwa. Sebaliknya, kemusyrikan dan penyimpangan dari syari’at Allah Ta’ala pasti akan mendatangkan kecelakaan, ketidak tenangan dan kegundahan jiwa.

Kedua : membersihkan jiwa dengan melaksanakan berbagai kewajiban dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Ini adalah tazkiyah yang wajib dilakukan setelah mentauhidkan Allah Ta’ala. Dan tidaklah ada sesuatu yang dicintai Allah Ta’ala setelah mentauhidkan-Nya kecuali melaksanakan berbagai kewajiban dan menjauhi berbagai hal yang diharamkan. Sebagaimana dalam hadist quthsi ;
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
Tidaklah hambaku mendekat padaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai dari apa-apa yang telah aku wajibkan kepadanya. [ HR. Bukhori ].

Ibnu Hajar ketika mengomentari hadist ini berkata : dan bisa diambil faedah dari hadist ini bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah melaksanakan berbagai kewajiban. [ Fathul baari pada syarkh hadist tersebut ].
Maka Ahlussunnah wal jama’ah didalam membersihkan jiwa mereka setelah mentauhidkan Allah Ta’ala adalah dengan melaksanakan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. Artinya ia tidak akan menyibukkan dengan yang sunnah dengan meremehkan berbagai kewajiban. Berapa banyak mereka yang pergi berhaji setiap tahunnya sedangkan ia tidak pernah membayar zakat yang harus dia bayar. Diantara mereka ada yang berlomba-lomba membangun masjid, sementara mereka tidak membayar zakat mal yang harus ia tunaikan. Benarlah sa’ir yang mengatakan : Barang siapa menyibikkan yang wajib dan lupa dengan hal-hal sunnah maka ia terampuni, dan barang siapa yang menyibukkan dengan hal-hal yang sunnah dan sia lupa dengan hal-hal yang wajib maka ia tertipu.

Allah Ta’ala tidak akan menerima hal-hal yang sunnah sebelum ia mengerjakan yang wajib. Sedangkan ahlussunnah mengerjakan suatu amalan sesuai dengan prioritas amalan yang diperintahkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sallallahu alaihi wasallam. Dan diantara perangkap setan yang dipasang untuk menjerat seorang hamba adalah menyibukkan ia dengan amalan yang tidak penting dan meninggalkan yang penting. Maka jelaslah bahwa menunaikan kewajiban lebih utama dibandingkan yang sunnah. Maka hendaknya seorang muslim menyempurnakan kewajiban-kewajibannya, setelah itu menambah dengan hal-hal yang sunnah sekemampuannya. 

Ketiga : membersihkan hati dengan amalan-amalan sunnah. Yaitu berbagai bentuk ketaatan pada Allah Ta’ala yang tidak dihukumi wajib.  Jadi, seluruh amalan yang Allah Ta’ala cintai mulai yang sangat ditenakan atau yang hanya sunnah saja, semunya menjadi sarana kita untuk membersihkan jiwa kita. Dalam hadist qutshi Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :
ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ،
Dan tidaklah hambaku senantiasa mendekat pada-Ku dengan nawafil [ amalan-amalan sunnah ] sampai aku mencintainya. [ HR. Bukhori ].

Amalan-amalan sunnah juga bisa berfungsi sebagai pelengkap amalan-amalan wajib yang belum sempurna ketika mengerjakannya. Jika shalat kita belum khusu’ dan kadang terbersit pikiran-pikiran yang tidak fokus dalam shalat kita, maka amalan sunnah dapat menyempurnakannya. Demikian pula puasa kita yang belum sempurna dalam pelaksanaannya karena masih belum bisa menahan pandangan dan ucapan yang bermanfaat, maka shaum sunnah sebagai pelengkapnya. Sebagaimana dalam hadist qutshi Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :
اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَتُكْمِلُ بِهِ فَرِيْضَتَهُ
Lihatlah, apakah bagi hamba-Ku memiliki amalan sunnah yang melengkapi dengannya kewajibannya [ HR. Abu Daud, Baihaqi, Al Hakim ].

Inilah jalan para salaf dalam membersih jiwa mereka dari berbagai kotoran. Dan inilah jalan lurus yang diajarkan nabi kita sallallahu alaihi wasallam. Jika kita ingin selamat, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengikuti jalan mereka. Sedangkan berpaling dari jalan mereka entah dalam membersihkan jiwa atau dalam hal yang lainnya akan menuai kesesatan dan terlempar dari jalan yang lurus. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita diatas jalan yang lurus. [ Amru ].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar