Selasa, 06 September 2011

Saat Musibah Terasa Nikmat


Musibah memang sesutu yang tidak dicari. Ia datang menghampiri dalam keadaan suka ataupun tidak suka, siap ataupun tidak siap. Kadang banyak orang yang gundah gulana dan merasa sempit saat musibah menghapiri. Berprasangka buruk pada Allah dan bahkan ada yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tak sedikit diantara manusia yang tersesat dengan pergi kedukun dan meminta untuk disembuhkan penyakitnya. Banyak juga yang mendatangi tempat-tempat keramat untuk mencari keberkahan walau harus mengorbankan aqidahnya.

Bagi orang yang beriman, musibah bisa menjadi sebuah nikmat. Dengan kesabaran dan keyakinan nya bahwa ia akan mendapat balasan pahala di akhirat. Dan juga kedudukan tinggi yang tidak didapat kecuali melalui ujian tersebut. Maka musibah yang ia derita menjadi sebuah kenikmatan. Semuanya itu dikarenakan harapan yang kuat bahwa Allah akan mengganti musibah tersebut dengan kenikmatan jannah.

Walau demikian, tidak diperbolehkan seseorang berdo’a untuk mendapatkan musibah. Karena kita diperintah untuk berdo’a agar mendapatkan keselamatan. Bukan malah berdo’a untuk mendapatkan kecelakaan. Tetapi jika memang Allah taqdirkan kita harus menanggung musibah, kita harus hadapi dengan perasaan ridho, kesabaran serta mengharap pahala di akhirat nanti. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda : 

لا يَنْبَغِي لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَذِلَّ نَفْسَهُ, قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , وَكَيْفَ يَذِلُّ نَفْسَهُ؟ قَالَ:أَنْ يَتَعَرَّضَ مِنَ الْبَلاءِ لِمَا لا يُطِيقُ
Tidak selayaknya seorang mukmin untuk menghinakan dirinya. Dikatan : Ya Rasululallah, bagaimana ia menghinakan dirinya ?. Beliau berkata : Ia meminta ujian dari apa-apa yang tidak ia sanggupi. [ Shahih sunan Ibnu Majah : 3243 ].

Tips agar musibah menjadi  nikmat
Memang musibah itu sesuatu yang kurang mengenakkan. Entah itu hilangnya harta benda, cacatnya anggota badan kita, berpisahnya kita dari orang-orang yang kita cintai, hilangnya pekerjaan kita dan yang lainnya. Tetapi semuanya bisa menjadi nikmat jika kita mengetahui tujuan diantara tujuan-tujuan Allah memberikan musibah tersebut pada kita. Diantara tujuan tersebut adalah ;

Pertama : untuk mengangkat derajad serta kedudukan hamba pada hari kiamat.  Inilah ujian yang Allah berikan kepada para nabi, shalihin dan orang-orang yang Allah cintai. Ujian ini diberikan kepada mereka untuk mengangkat derajat dan untuk mendapatkan pahala yang melimpah di akhirat. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ سَعْدٍ ، قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَإِنْ كَانَ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٍ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَلِكَ ، فَمَا تَبْرَحُ الْبَلايَا بِالْعَبْدِ حَتَّى تَدَعَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ.
Dari Sa’ad berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, : “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” [HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih].

Dari hadist ini dapat diambil kesimpulan, bahwa seorang nabi, ulama’ dan juga orang-orang shalih tidak mungkin lepas dari ujian. Jika ada seorang ulama’ dan orang shalih yang tidak pernah mendapatkan ujian berupa cemoohan dari kaumnya atau tekanan dari orang-orang yang tidak senang terhadap dakwah mereka, hakekatnya mereka belum masuk golongan ulama’ yang ‘amilin fi sabilillah. Dan hendaknya ia melihat, sudah benarkah pemahan dan aqidahnya sehingga jalan yang ia tempuh landai-landai saja tanpa hambatan dan rintangan.

Dari hasit ini juga kita bisa ambil kesimpulan bahwa ujian dapat menghapuskan dosa-dosa kita hingga seorang hamba berjalan dimuka bumi bersih dari dosa.

Kedua : untuk menyaring orang-orang yang beriman dan memisahkan antara yang baik dengan yang jelek. Banyak orang yang mengaku telah beriman dan siap mengamalkan serta memperjuangkannya. Tetapi ketika datang ujian berupa benturan-benturan yang bertubi-tubi, diantara mereka ada yang gugur ditengah jalan. Ia mulai uzdur untuk ikut dalam perjungan tersebut. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman :

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. [ QS. Al Ankabut : 2-3 ].  

Pada ayat ini ada sebuah pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Bahwa tidak mungkin Allah Ta’ala membiarkan seseorang mengucapkan, kami telah beriman sedangkan ia tidak diuji. Maka orang yang telah menyatakan beriman dan mengikuti jalan para nabi serta rasul dan jalan yang lurus, pasti akan diuji sehingga terbukti pengakuannya. Dengannya pula, Allah Ta’ala mengatahui orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta. 

Ketiga : untuk memberi hukuman kepada orang-orang yang berbuat dosa. Yang mendapatkan musibah disini bisa jadi masih termasuh dari ummat islam atau juga orang-orang musyrik dan kafir. Jika itu terjadi pada orang-orang islam, maka itu bagian dari peringatan Allah Ta’ala agar mereka kembali sadar dan bertaubat dari perbutan dosanya. Akan tetapi jika musibah itu ditujukan pada orang-orang kafir, adalah bagian dari adzab Allah pada mereka sebelum adzab yang pedih nanti diakhirat. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً
Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. [ QS. Al Isra’ : 16 ].

Makna dari ayat tersebut adalah, kami perintahkan mereka untuk taat, akan tetapi mereka malah berbuat dosa. Maka sudah sepantasnya bagi mereka mendapat hukuman. [ Tafsir ibnu katsir ].
Jika musibah yang menimpa seseorang ada yang tujuannya balasan atas perbuatan dosa dan juga ada yang untuk menaikkan derajad seseorang, maka seseorang harus jeli, dimanakah posisi dia saat mendapatkan musibah. Apakah musibah tersebut peringatan dari Allah Ta’ala, atau musibah tersebut sebagai penghapus dosanya ?. jika ia salah dalam menempatkannya, akan terjadi musibah besar pada dirinya, yaitu tambah jauhnya ia dari Allah Ta’ala.

Disaat seseorang mendapatkan musibah, banyak diantara mereka yang berburuk sangka pada Allah. Ia menggerutu dan tidak sabar serta mengatakan “ kenapa Allah memberi saya musibah ini !. Padahal saya tidak melaksanakan dosa pada Allah Ta’ala”. Dia tidak sadar bahwa musibah tersebut adalah penghapus dosa-dosanya di dunia dan menaikkan derajadnya di akhirat.

Yang lainnya ada juga kelompok yang selalu melakukan kemaksiatan dan perbuatan dosa pada Allah Ta’ala. Saat musibah menghampirinya, ia berbaik sangka pada pada dirinya. Ia meyakini bahwa musibah tersebut adalah sarana menaikkan derajadnya di akhirat sebagaimana musibah yang menimpa para nabi dan orang-orang shalih. Ketahuilah wahai saudaraku. Ini buah dari ketidaktahuan mereka terhadap tujuan dari musibah.
Kita harus jeli melihat diri kita. Apakah ujian yang menimpa kita sebagai peringatan atas dosa-dosa kita, atau ia sebagai sarana untuk menaikkan derajad kita dihadapan Allah Ta’ala. Jika ujian menghampiri pada saat kita melakukan dosa, ketahuilah, ia adalah peringatan dan hukuman. Tetapi jika musibah datang saat kita melakukan ketaatan dan mengamalkan islam kita, insyaAllah ia adalah sarana untuk menaikkan derajad kita, jika kita bersabar dan mengharap pahala dari-Nya.

Sebagai penutup, marilah kita renungi perkatan Ibnul Qoyyim dalam al jawabul kaafi. Beliau berkata : Disinilah permasalah yang sangat rumit dalam masalah dosa. Yaitu mereka yang tidak dapat merasakan akibat dosa pada dirinya. Dan kadang-kadang hukuman dari dosa itu diakhirkan sehingga mereka lupa. Persis sebagaimana perkataan sya’ir :

Jika tidak berdebu tembok saat dipukul
Maka tidak lagi ada debu setelah pukulan tersebut.

subhanaAllah. Berapa banyak nikmat yang hilang dari kita?. Dan berapa banyak musibah yang menimpa kita?. Tetapi sedikit yang sadar dari kita bahwa itu adalah peringatan dari Allah agar kita kembali pada-Nya. Kembali pada jalan yang lurus dan bertaubat atas dosa-dosa kita. Semoga Allah Ta’ala menfaqihkan kita pada musibah yang menimpa kita. [ Amru ].

Mengenal Musibah Terbesar


Banyak orang yang mengatakan bahwa musibah terbesar adalah musibah yang memakan banyak korban jiwa dan harta. Rusaknya berbagai fasilitas umum bseperti jalan, jembatan dan luluh lantaknya perkampungan-perkampungan yang dihuni oleh para penduduk. Bisa jadi dikarenakan gempa bumi, sunami, tanah longsor, banjir dan bencana alam lainnya. Sehingga banyak orang menyimpulkan, inilah musibah terbesar.

Akan tetapi islam memandang berbeda. Musibah terbesar yang menimpa seseorang atau bahkan negeri adalah terperosoknya seseorang atau masyarakat pada kemunkaran dan kemaksiatan. Musibah terbesar adalah saat musibah tersebut menimpa pada diinnya. Apakah itu dikarenakan fitnah syahwat yang menjadikan ia condong pada perbuatan dosa, atau terkena fitnah syubhat sehingga pikirannya kacau. Meyakini kebenaran sebagai kesesatan dan kesesatan sebagai kebenaran. Inilah arti musibah terbesar dalam kehidupan manusia.
Jika seseorang tertimpa musibah terhadap agamanya, maka ia adalah kesengsaraan dunia dan akhirat. Dari itulah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengajarkan do’a pada kita :

وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِى دِينِنَا, وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا, وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا, وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah mengenai agama kami, dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai sebesar-besar keinginan kami dan tujuan akhir dari ilmu kami, dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami. (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

Imam Syuraih al qodhi berkata tentang hal tersebut : Sesungguhnya jika aku ditimpa musibah maka aku ucapkan alhamdulillah empat kali; 1) Aku memuji-Nya karena musibah itu tidak lebih buruk dari yang telah terjadi, 2) aku memuji-Nya ketika Dia memberikan aku kesabaran menghadapinya, 3) aku memuji-Nya karena membuatku mampu mengucapkan kalimat istirja (innalillahi wa inna ilaihi rajiun) berharap akan pahala yang besar, dan 4) aku memuji-Nya karena Dia tidak menjadikannya sebuah musibah dalam agamaku. 

Macam-macam musibah terhadap agama kita
Setelah kita mengetahui betapa celakanya orang yang tertimpa musibah pada agamanya, maka penting bagai kita untuk mengenali apa saja musibah terhadap diin kita ini. Tujuannya agar kita dapat menjauhi musibah tersebut dan tetap istiqamah di atas kebenaran hingga akhir hayat. Diantara musibah tersebut adalah ;

Pertama : Terjerumus kedalam kesyirikan. Tidak ada dosa yang lebih besar di hadapan Allah Ta’ala setelah syirik. Dosa yang akan mengeluarkan seseorang dari keislaman dan menghapus seluruh amal serta mengekalkannya di dalam neraka. Tidak ada dosa yang lebih dimurkai Allah Ta’ala dibandingkan menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Allah subhanahu wata’ala berfirman ;
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ( QS. An Nisa:116 ).

Betapa banyak ummat hari ini terjerumus pada kesyirikan. Saaat mereka sakit bukan bersabar dan memohon kesembuhan pada Allah, akan tetapi malah pergi berobat pada para dukun. Saat musibah itu dapat mengurangi dosa dia di dunia, ternyata ia malah pergi ke dukun dan berobat dengan bantuan setan dari jin. Sehingga pahala dia menjadi sirna dan diganti dengan dosa kesyirikan.

Belum lagi jika kita menengok dunia persulapan di Indonesia, hampir acara ini menjadi acara spesial  disetiap stasiun televisi nasional. Para dukun berlomba kesaktian dan dipertontonkan di hadapan masarakat. Tak sedikit diantara mereka yang tertarik untuk menjadi dukun sebagaimana yang ia tonton. Anak-anak mereka sekolahkan untuk menjadi dukun. Padahal sihir dan perdukunan adalah perbuatan haram yang bisa merusak tauhidnya.

Kedua ; terjerumus dalam perbutan bid’ah. Bid’ah adalah dosa yang besar setelah syirik. Dan ia adalah perangkap syatan yang dibentangkan pada manusia setelah syirik. Pelaku bid’ah lebih dicintai setan dibandingkan ahli maksiat. Karena pelaku bid’ah berkeyakinan bahwa amalnya adalah kebaikan dan kecil baginya untuk taubat. Sedangkan ahli maksiat masih meyakini bahwa dosa yang ia lakukan adalah salah sehingga masih ada harapan untuk bertaubat.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mewasitkan kepada kita dengan tegas tentang masalah bid’ah ini sebagaimana sabdanya ;
إِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziy).

Maka wajib bagi kita untuk menjauhi bid’ah, para pelakunya dan pendungnya. Dekat dengan mereka ibarat racun yang mematikan. Sedikit saja tertelan, maka akan menyebabkan kematian hati dan jauh dari kebenaran.
Ketiga ;  Meninggalkan ibadah dan terbiasa dengan maksiat. Musibah terbesar lainnya, adalah ketika seseorang dengan mudah meninggalkan ibadah kepada Allah. Berapa banyak orang yag telah mengaku dirinya muslim, tetapi tidak mau menunaikan kewajiban shalat. Dan berapa banyak orang shalat, tetapi tidak mau menunaikannya secara berjama’ah di masjid.

Sebagian di antara kaum muslimin terjebak ke dalam pemahaman bahwa shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, bukan kewajiban. Ini adalah kerancuan pemahaman. Jika memang shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, maka tentunya Abdullah ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta akan diizinkan oleh Rasulullah untuk tidak hadir di masjid. Kenyataannya, meskipun beliau buta, jalan masih banyak binatang melata, tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid, beliau tidak mengizinkan Ibnu Ummi maktum untuk shalat seorang diri di rumahnya.

Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memperhatikan shalat berjama’ah. Bahkan mereka senantiasa berusaha agar tidak terlambat bertakbiratul ihram bersama dengan Imam. Mereka menganggap tidak menunaikan shalat secara berjama’ah sebagai sebuah musibah besar. Hatim al-Asham mengatakan, “Musibah agama itu lebih besar daripada musibah dunia. Ketika anak putriku meninggal lebih dari sepuluh ribu orang bertakziah, tetapi kenapa ketika akau tertinggal dari shalat berjama’ah tidak ada seorang pun yang bertakziah?”

Meninggalkan ibadah karena sesuatu dunia yang mubah adalah suatu musibah besar dan kecelakaan besar. Tetapi masih ada kecelakaan dan musibah yang lebih besar lagi. Yaitu orang meninggalkan kewajiban syari’at hanya karena mengejar kemaksiatan. Seseorang meninggalkan shalat karena asyik dengan perjudiannya. Tidak berpuasa, karena asyik dengan minuman kerasnya. Tidak berjama’ah karena sibuk berpacaran. Enggan mendatangi pengajian karena berat meninggalkan sinetron, dan seterusnya.

Ke empat : Tidak bersabar atas musibah dunia yang menimpanya. Berbicara tentang sabar, kadang-kadang orang mengatakan bahwa sabar itu ada batasnya. Ini adalah ungkapan orang yang sudah tidak mampu lagi bersabar. Allah mengajarkan kesabaran dan tidak pernah memberikan batas. Artinya, bersabar itu harus dilakukan terus hingga Allah mengganti musibah dengan kenikmatan.

Orang yang mengatakan sabar ada batasnya, sesungguhnya ia tidak faham makna sabar. Sabar adalah pengakuan seorang hamba, bahwa segala musibah itu adalah dari Allah. Karena itulah ia tanggung segala cobaan ini dengan mengharap pahala dari Allah.

Dengan penjelasan makna sabar seperti ini, orang yang tidak mau bersabar terhadap cobaan dunia yang menimpanya, maka musibah itu bisa berpindah kepada agamanya. Sebab di dalam ketidak sabaran terhadap musibah itu terkandung sikap berpaling dan ingkar tehadap taqdir yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Apalagi jika ia tertimpa musibah lalu mengadu ke dukun, ini adalah kebodohan dan musibah yang amat besar. Seorang ulama’ mengatakan, ”Orang yang bodoh adalah mengadukan Allah kepada makhluk. Ini adalah kebodohan yang luar bisa terhadap siapa yang diadukan dan yang dijadikan tempat mengadu. Yang diadukan adalah Dzat yang Maha sempurna, tempat mengadunya kepada makhluk yang lemah dan penuh kekurangan. Akankah kita mengadukan dzat yang Maha penyayang kepada orang yang tak bisa memberikan kasih sayang ?. Akankah kita mengadukan Dzat yang sempurna kepada makhluk yang terbatas ?. Akankah kita mengadukan Dzat yang Maha Perkasa kepada makhluk yang lemah ?. 

Marilah kita telaah kembali diri kita masing-masing. Marilah kita cermati hati kita masing-masing. Jika masih ada potensi-potensi munculnya musibah keagamaan di dalam diri kita, harus segera kita bersihkan. Kita cuci hati dan jiwa kita, semoga Allah memberikan hidayah, Allah menuntun kita di jalan-Nya yang lurus. Agar kita senantiasa meniti jalan lurus itu hingga akhir hayat kita. [ Amru ].

Memahami arti sebuah ujian


Hidup di dunia adalah ujian. Dalam keadaan miskin, kaya, menderita, bahagia, semuanya adalah ujian. Jika ia diuji dengan kesenangan, ia harus bisa bersyukur dan menggunakannya dalam kebaikan. Dan jika diuji dengan kekurangan dan kesempitan dia harus sabar dan memohon pahala dari Allah Ta’ala.

Banyak orang yang tidak sadar akan sebuah ujian. Tidak tahu akan jenisnya ujian, tujuan dari ujian, serta hikmah dari berbagai ujian tersebut. Yang akhirnya, dia salah dalam mensikapi berbagai ujian tersebut sesuai dengan yang diharapkan islam. 

Saat ia diberi kenikmatan seakan-akan ia adalah limpakan karunia dari Allah Ta’ala. Ia gunakan kenikmatan tersebut untuk berfoya-foya dan kemaksiatan. Kesehatannya tidak digunakannya untuk ketaatan dan beribadah pada penciptanya. Sedangkan harta yang ia miliki dibelanjakan untuk kemaksiatan dan hal-hal yang kurang begitu berguna. 

Dan saat ia tertimpa musibah pada dirinya dan disempitkan hartanya, seakan-akan Allah Ta’ala sedang menghinakannya. Allah Ta’ala sedang marah terhadapnya. Dan Allah Ta’ala sedang mengadzabnya dalam kehidupan dunia. Ia merasa dunia terlalu sempit. Hal ini persis yang disampaikan Allah Ta’ala dama al qur’an ;
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: "Tuhanku Telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". [ QS. Al Fajr : 15-16 ].

Imam Ibnu Katsir berkata : Allah Ta’ala berkata mengingkari manusia yang berkeyakinan, jika Allah meluaskan baginya rizki untuk mengujinya, ia mengira bahwa Allah memuliakannya. Padahal tidak demikian. Akan tetapi ia adalah ujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :  Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, Sebenarnya mereka tidak sadar. [ Al Mukminun 55-56 ].

Disisi yang lain, jika Allah Ta’ala mengujinya dengan kesempitan rizki, ia meyakininya bahwa Allah sedang menghinakannya. Padahal tidak demikian. Allah memberikan harta pada orang yang dicintai dan yang tidak dicintai. Dan menyempitkan harta bagi orang yang dicintai dan yang tidak dicintai. Akan tetapi yang menjadi setandart adalah ketaatan ia dalam dua kondisi tersebut. Jika ia dalam kondisi kaya, hendaklah bersyukur. Dan jika ia dalam kondisi fakir hendaklah ia bersabar. [ Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut ].

Jenis ujian
Semuanya yang ada di dunia adalah ujian. Sedangkan ujian ada dua macam. Ujian berupa kesenangan dan ujian berupa ketidak senangan dan kesempitan.

Pertama : Ujian kesempitan dan ketidak senangan. Jenis inipun juga terbagi menjadi dua macam. Yaitu taqdir Allah yang menjadikan ia miskin, lapar, tertimpa musibah atau hilangnya orang-orang dekat kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. [ Al Baqarah : 155 ].
Sedangkan jenis kedua adalah ujian ketidak senangan dikarenakan usaha dia dalam melaksanakan syari’at Allah Ta’ala. Seperti seorang muslim yang berusaha memelihara jenggotnya, menjauhi isbal, menjauhi rokok dan perbuatan dosa lainnya. Atau seorang wanita muslimah yang istiqamah dalam berpakaian sesuai tuntunan islam. Jika berbagai ketaatan tersebut mendatangkan cibiran orang, makian dan umpatan dan bahkan kesempitan rizkinya, maka ketahuilah ia adalah ujian dari Allah. Derajadnya lebih tinggi dibandingkan ujian kesempitan karena taqdir Allah. Maka tidak heran jika Allah menyiapkan jannah bagi orang-orang yang lulus dalam ujian ini. Allah Ta’ala berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). [ An Nazi’at : 40 – 41 ].
Maksudnya adalah, takut akan kedudukan Allah Ta’ala dan hukum-hukumnya. Kemudian ia tahan nafsunya dari hal yang tidak benar, dan ia arahkan pada ketaatan, maka tempat kembalinya adalah jannah. [ Tafsir Ibnu katsir ].

Kedua : ujian kesenangan dan kelapangan. Jenis inipun juga ada dua bagian. Pertama Allah mentaqdirkannya sehat, diberi kekayaan melimpah, anak-anak yang banyak dan membanggakan, memiliki kedudukan tinggi dimasyarakat dan yang lainnya. Semuanya ini, kadang menjadi kebanggan bagi orang-orang yang memilikinya. Allah Ta’ala berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan. [ Al Anbiya’ : 35 ].

Pada ayat tersebut Allah Ta’ala menyebutkan ujian kesusahan dan kesenangan secara bersama-sama. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam juga bersabda dalam hadistnya :
إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ مَحْزَنَةٌ
Sesungguhnya anak itu bisa menjadikan bahil, pengecut, bersedih. [ Shahih jami’us shaghir : 1990 ].
Hadist ini juga mengingatkan pada kita agar tidak bahil saat islam memerintahkan kita untuk berinfaq. Atau pengecut saat islam memerintahkan kita untuk berjihad dan membela agama kita. Dan bersedih yang mendalam saat anak kita meninggal dunia. 

Sedangkan jenis kedua adalah; ujian berupa kenikmatan tetapi dengan melanggar aturan Islam. Seperti seseorang yang menahan dirinya dari jalan-jalan yang diharamkan saat mencari rizki. Bisa saja dia masuk menjadi pegawai bank-bank ribawi atau mungkin mendapatkan hutangan yang lunak dari bank tersebut. Atau dengan menipu saat melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi ia tinggalkan semuanya karena takut akan ancaman Allah Ta’ala.

Ujian yang seperti ini terkadang menjadi ujian yang lebih berat dibandingkan ujian kesusahan dan kesempitan hidup. Orang yang sempit dan tersiksa kebanyakan akan meminta dan memohon pada Allah dengan kesabaran dan keistiqamahan agar dihilangkan kesempitannya. Tetapi sedikit dari manusia yang mendekat dan memohon pada Allah agar meluluskan ujian berupa kesenangan di dunia ini dan tidak terjerembab pada hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Karena mereka menganggap bahwa ia telah diberi kemuliaan Allah Ta’ala berupa kenikmatan, padahal mereka terus dalam kaedaan maksiat dan melanggar aturan-aturan islam.
Dari itulah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam lebih banyak mengingatkan para sahatbatnya tentang bahayanya ujian kenikmatan dibandingkan ujian kesempitan. Beliau bersabda dalam hadistnya ;

مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Tidaklah kefakiran aku takutkan atas kalian. Akan tetapi yang aku takutkan jika dibukakan atas kalian dunia sebagaimana telah dibukakan terhadap orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba terhadapnya sebagaimana mereka berlomba-lomba terhadapnya, dan kalian celaka sebagaimana mereka telah celaka. [ HR. Bukhori Muslim ].

Betapa banyak orang yang bersabar saat diuji dengan kefakiran dan kemiskinan. Ia senantiasa berdo’a pada Allah untuk diberikan kesabaran dalam menanggung kemiskinannya. Tetapi sedikit diantara manusia yang diuji dengan kenikmatan hidup. Bakhil terhadap hartanya, sombong dengan anak-anaknya yang telah sukses dunianya, serta berbangga-bangga dengan pekerjaan dan kedudukan mereka dimasyarakat. Mereka merasa bahwa itu semua adalah tanda kecintaan Allah kepada mereka. Sehingga ada yang berujar bahwa saking cintanya Allah kepadaku Ia memberikan seluruh kenikkmatan dunia padaku. Sungguh ini adalah bukti ketidak pahaman ia tentang hakekat sebuah ujian.

Sebagai penutup kami pesankan, jika anda ditaqdirkan menjadi orang diberi kelapangan, sadarlah bahwa ia adalah ujian. Jangan anda hamburkan harta anda untuk bermewah-mewah dan berbangga-bangga. Jadilah sebagaimana Abdurrahman bin ‘Auf. Yang takut jika kenikmatan dunia itu akan mengurangi kenikmatan ia di akhirat. Dan jika anda ditaqdirkan menjadi orang yang fakir atau kekurangan, maka bersabarlah dengan keadaan anda. Jangan sampai kemiskinan menjerumuskan anda pada perbuatan dosa.  Kuncinya adalah sabar dan syukur. Jika kita bisa bersabar atau bersyukur, maka jannah menanti kita. [ Amru ].

TINGKATAN MANUSIA DALAM HAL ILMU DAN HARTA


Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran, harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam. Padahal dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.

Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada dalam angan-angan. “Semoga anakku menjadi ‘orang’, semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu ….” dan sejuta lambungan ‘semoga’ yang lainnya.
Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita orangtuanya.

Sebaliknya, banyak orang tua yang acuh tak acuh terhadap pendidikan agama pada anak mereka. Ketika anak tidak dapat membaca alqur’an, shalat yang benar dan jauh dari akhlaq yang islami, sepertinya banyak orang tua yang tenang-tenang saja. Seakan pendidikan agama tidak begitu dibutuhkan bagi mereka. Bahkan ada yang berpikiran bahwa pindidikan agama hanya akan menjadikan miskin. Dalam pikiran mereka hanya duit, duit dan duit.
Tingkatan manusia
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadisnya :
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ حَقَّهُ قَالَ فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ قَالَ وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا قَالَ فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ قَالَ وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقَّهُ فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ قَالَ وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ هِيَ نِيَّتُهُ فَوِزْرُهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ
"Sesungguhnya dunia itu untuk empat orang; (Pertama), seorang hamba yang dikarunia Allah harta dan ilmu, dengan ilmu ia bertakwa kepada Allah dan dengan harta ia menyambung silaturrahim dan ia mengetahui Allah memiliki hak padanya dan ini adalah tingkatan yang paling baik, (Kedua,) selanjutnya hamba yang diberi Allah ilmu tapi tidak diberi harta, niatnya tulus, ia berkata: Andai saja aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan seperti amalan si fulan, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, pahala mereka berdua sama, (Ketiga,) selanjutnya hamba yang diberi harta oleh Allah tapi tidak diberi ilmu, ia melangkah serampangan tanpa ilmu menggunakan hartanya, ia tidak takut kepada Rabbinya dengan harta itu dan tidak menyambung silaturrahimnya serta tidak mengetahui hak Allah padanya, ini adalah tingkatan terburuk, (Keempat,) selanjutnya orang yang tidak diberi Allah harta atau pun ilmu, ia bekata: Andai aku punya harta tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan yang serampangan meneglola hartanya, dan niatnya benar, dosa keduanya sama." Berkata Abu Isa: hadits ini hasan shahih. (HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih).

Dalam hadist di atas, dapat disimpulkan bahwa derajat manusia dalam hal ilmu dan harta menjadi empat tingkatan. Dimulai dari tingkatan yang tertinggi kemudian tingkatan di bawahnya. 

Tingkatan pertama : adalah seorang hamba yang diberikan ilmu diin dan harta. Dengan hartanya ia gunakan untuk menyambung silaturrahmi dan ia salurkan pada yang berhak. Ilmunyapun ia amalkan dan ia sampaikan kepada manusia serta tidak ia gunakan untuk berbangga-bangga. Inilah derajad yang paling tinggi.
Yang menyebabkan kemuliaan kelompok ini adalah ilmu, bukan harta mereka. Karena dengan ilmu diin Allah akan angkat pemiliknya dan Allah akan memuliakan dihadapan para makhluq-Nya. Ilmu diin inilah yang kemudian memahamkan dia bagaimana cara mendapatkan harta dan bagaimana menyalurkannya.
Ilmu dan harta memang ada hak yang harus ditunaikan. Jika ilmu, dia harus mengamalkan dan mengajarkannya kepada manusia serta tidak boleh menyembunyikannya. Sedangkan harta memiliki hak diantaranya adalah :

1.      Meyakini bahwa harta yang ada di tangan kita adalah hartanya Allah Ta’ala. Janganlah kalian menganggap bahwa harta yang kau miliki adalah milikmu. Tapi merasalah bahwa harta tersebut adalah kepunyaan Allah. Dialah yang memberi kita harta, kesehatan, dan bahkan nyawa. Dan Ia lah yang memerintahkan kita untuk menyalurkan harta ini untuk diri kita, keluarga kita dan juga orang-orang yang berhak menerimanya.

2.      Memahami bahwa harta yang dititipkan pada kita adalah ujian. Apakah kita bisa menyalurkan pada yang berhak atau kita pakai untuk bermegah-megah dan sesuatu yang kurang bermanfaat.

3.      Memahami bahwa Allah memiliki hak terhadap harta kita. Perintah untuk berinfaq di jalan Allah Ta’ala di dalam al qur’an sangat banyak sekali. Sedangkan orang yang memiliki kelapangan diperintahkan untuk menyalurkan harta mereka pada jalan-jalan tersebut.

tingkatan kedua : adalah orang yang memiliki ilmu, tetapi tidak Allah berikan kepadanya harta. Dan dengan niatnya yang tinggi ia mengatakan, jika ia diberi harta akan beramal sebagaimana amalan kelompok sebelumnya. Karena itu, Allah Ta’ala memberikan pahala yang sama antara kelompok ini dengan sebelumnya. Dengan niat yang ikhlas dan sungguh-sungguh Allah berikan seseorang satu kedudukan yang lebih tinggi. Abdullah bin Mubarak berkata :
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
Berapa banyak amalan yang kecil kemudian besar dengan niat. Dan berapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niat.

Kelompok ini mengahrapkan untuk diberikan harta dan juga ilmu sebagaimana kelompok pertama. Dan ia berkenginan untuk beramal dengan harta dan ilmunya. Dari itulah Allah memberikan padanya pahala karena niat yang sunguh-sungguh. Berkata Yahya Ibnu Abu katsir : belajarlah niat, karena ia kadang lebih tinggi daripada amal.

Kelompok yang ke tiga : adalah orang yang Allah berikan harta, tetapi tidak diberikan ilmu diin. Sehingga hartanya disalurkan pada hal yang dilarang Allah Ta’ala dan memutus silaturrahmi. Ini adalah tingkatan yang paling jelek.

Islam melarang pengikutnya untuk menghambur-hamburkan harta pada hal kemaksiatan dan yang tidak penting. Termasuk tidak penting adalah membeli sesuatu yang kurang dibutuhkan bagi diri kita. Membelanjakan harta untuk membeli mobil yang paling mewah, rumah yang besar dan serba mahal serta perabotan yang serba mewah padahal itu tidak begitu dibutuhkan bagi kita, ini termasuk hal yang dilarang. Atau membelanjakan harta dalam hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala seperti membiayaai konser musik, acara kesyirikan di sekitar kita dan yang lainnya. Semuanya adalah hal yang diharamkan islam.

Allah Ta’ala berfirman :
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (*) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورً
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. [ QS. Al Isra’ : 26-27 ]

Sedangkan pemborosan adalah membelanjakan untuk kerusakan [ yang haram ] atau dalam hal yang diperbolehkan tetapi berlebihan dalam membelanjakannya. [ Ibnu ‘Athiyyah, muharroor al wajiz, 3/450 ]

Allah telah menjadikan harta untuk kebikan. Maka barang siapa yang menggunakannya untuk pemborosan dan membiayai hal yang haram diancam dengan neraka. Hampir bisa dipastikan bahwa orang yang memilki harta dan tidak memiliki ilmu agama akan menggunakan hartanya dalam hal-hal yang dilarang tersebut.

Kelompok ke empat : adalah seseorang yang tidak diberikan kepadanya ilmu diin dan harta. Tetapi ia memilki niat yang jelek, dengan mengatakan; jika aku diberi harta sebagaimana si fulan, maka aku akan gunakan harta tersebut sebagaimana ia telah menggunakan harta tersebut. Dengan niat dia yang jelek tersebut dia mendapatkan dosa sebagaimana pelakunya.
itulah kelompok manusia berdasarkan ilmu dan harta. Sekarang tinggal melihat diri kita, pada posisi mana kita berada ?. yang jelas jangan menjadi kelompok ketiga dan keempat. Tetapi jadilah yang pertama atau kedua. Jika tidak menjadi seorang ahli ilmu yang memiliki harta, maka jadilah seorang ‘alim yang menyampaikan ilmunya pada ummat. [ Amru ].