Selasa, 06 September 2011

Mengenal Musibah Terbesar


Banyak orang yang mengatakan bahwa musibah terbesar adalah musibah yang memakan banyak korban jiwa dan harta. Rusaknya berbagai fasilitas umum bseperti jalan, jembatan dan luluh lantaknya perkampungan-perkampungan yang dihuni oleh para penduduk. Bisa jadi dikarenakan gempa bumi, sunami, tanah longsor, banjir dan bencana alam lainnya. Sehingga banyak orang menyimpulkan, inilah musibah terbesar.

Akan tetapi islam memandang berbeda. Musibah terbesar yang menimpa seseorang atau bahkan negeri adalah terperosoknya seseorang atau masyarakat pada kemunkaran dan kemaksiatan. Musibah terbesar adalah saat musibah tersebut menimpa pada diinnya. Apakah itu dikarenakan fitnah syahwat yang menjadikan ia condong pada perbuatan dosa, atau terkena fitnah syubhat sehingga pikirannya kacau. Meyakini kebenaran sebagai kesesatan dan kesesatan sebagai kebenaran. Inilah arti musibah terbesar dalam kehidupan manusia.
Jika seseorang tertimpa musibah terhadap agamanya, maka ia adalah kesengsaraan dunia dan akhirat. Dari itulah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengajarkan do’a pada kita :

وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِى دِينِنَا, وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا, وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا, وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah mengenai agama kami, dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai sebesar-besar keinginan kami dan tujuan akhir dari ilmu kami, dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami. (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

Imam Syuraih al qodhi berkata tentang hal tersebut : Sesungguhnya jika aku ditimpa musibah maka aku ucapkan alhamdulillah empat kali; 1) Aku memuji-Nya karena musibah itu tidak lebih buruk dari yang telah terjadi, 2) aku memuji-Nya ketika Dia memberikan aku kesabaran menghadapinya, 3) aku memuji-Nya karena membuatku mampu mengucapkan kalimat istirja (innalillahi wa inna ilaihi rajiun) berharap akan pahala yang besar, dan 4) aku memuji-Nya karena Dia tidak menjadikannya sebuah musibah dalam agamaku. 

Macam-macam musibah terhadap agama kita
Setelah kita mengetahui betapa celakanya orang yang tertimpa musibah pada agamanya, maka penting bagai kita untuk mengenali apa saja musibah terhadap diin kita ini. Tujuannya agar kita dapat menjauhi musibah tersebut dan tetap istiqamah di atas kebenaran hingga akhir hayat. Diantara musibah tersebut adalah ;

Pertama : Terjerumus kedalam kesyirikan. Tidak ada dosa yang lebih besar di hadapan Allah Ta’ala setelah syirik. Dosa yang akan mengeluarkan seseorang dari keislaman dan menghapus seluruh amal serta mengekalkannya di dalam neraka. Tidak ada dosa yang lebih dimurkai Allah Ta’ala dibandingkan menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Allah subhanahu wata’ala berfirman ;
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ( QS. An Nisa:116 ).

Betapa banyak ummat hari ini terjerumus pada kesyirikan. Saaat mereka sakit bukan bersabar dan memohon kesembuhan pada Allah, akan tetapi malah pergi berobat pada para dukun. Saat musibah itu dapat mengurangi dosa dia di dunia, ternyata ia malah pergi ke dukun dan berobat dengan bantuan setan dari jin. Sehingga pahala dia menjadi sirna dan diganti dengan dosa kesyirikan.

Belum lagi jika kita menengok dunia persulapan di Indonesia, hampir acara ini menjadi acara spesial  disetiap stasiun televisi nasional. Para dukun berlomba kesaktian dan dipertontonkan di hadapan masarakat. Tak sedikit diantara mereka yang tertarik untuk menjadi dukun sebagaimana yang ia tonton. Anak-anak mereka sekolahkan untuk menjadi dukun. Padahal sihir dan perdukunan adalah perbuatan haram yang bisa merusak tauhidnya.

Kedua ; terjerumus dalam perbutan bid’ah. Bid’ah adalah dosa yang besar setelah syirik. Dan ia adalah perangkap syatan yang dibentangkan pada manusia setelah syirik. Pelaku bid’ah lebih dicintai setan dibandingkan ahli maksiat. Karena pelaku bid’ah berkeyakinan bahwa amalnya adalah kebaikan dan kecil baginya untuk taubat. Sedangkan ahli maksiat masih meyakini bahwa dosa yang ia lakukan adalah salah sehingga masih ada harapan untuk bertaubat.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mewasitkan kepada kita dengan tegas tentang masalah bid’ah ini sebagaimana sabdanya ;
إِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziy).

Maka wajib bagi kita untuk menjauhi bid’ah, para pelakunya dan pendungnya. Dekat dengan mereka ibarat racun yang mematikan. Sedikit saja tertelan, maka akan menyebabkan kematian hati dan jauh dari kebenaran.
Ketiga ;  Meninggalkan ibadah dan terbiasa dengan maksiat. Musibah terbesar lainnya, adalah ketika seseorang dengan mudah meninggalkan ibadah kepada Allah. Berapa banyak orang yag telah mengaku dirinya muslim, tetapi tidak mau menunaikan kewajiban shalat. Dan berapa banyak orang shalat, tetapi tidak mau menunaikannya secara berjama’ah di masjid.

Sebagian di antara kaum muslimin terjebak ke dalam pemahaman bahwa shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, bukan kewajiban. Ini adalah kerancuan pemahaman. Jika memang shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, maka tentunya Abdullah ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta akan diizinkan oleh Rasulullah untuk tidak hadir di masjid. Kenyataannya, meskipun beliau buta, jalan masih banyak binatang melata, tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid, beliau tidak mengizinkan Ibnu Ummi maktum untuk shalat seorang diri di rumahnya.

Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memperhatikan shalat berjama’ah. Bahkan mereka senantiasa berusaha agar tidak terlambat bertakbiratul ihram bersama dengan Imam. Mereka menganggap tidak menunaikan shalat secara berjama’ah sebagai sebuah musibah besar. Hatim al-Asham mengatakan, “Musibah agama itu lebih besar daripada musibah dunia. Ketika anak putriku meninggal lebih dari sepuluh ribu orang bertakziah, tetapi kenapa ketika akau tertinggal dari shalat berjama’ah tidak ada seorang pun yang bertakziah?”

Meninggalkan ibadah karena sesuatu dunia yang mubah adalah suatu musibah besar dan kecelakaan besar. Tetapi masih ada kecelakaan dan musibah yang lebih besar lagi. Yaitu orang meninggalkan kewajiban syari’at hanya karena mengejar kemaksiatan. Seseorang meninggalkan shalat karena asyik dengan perjudiannya. Tidak berpuasa, karena asyik dengan minuman kerasnya. Tidak berjama’ah karena sibuk berpacaran. Enggan mendatangi pengajian karena berat meninggalkan sinetron, dan seterusnya.

Ke empat : Tidak bersabar atas musibah dunia yang menimpanya. Berbicara tentang sabar, kadang-kadang orang mengatakan bahwa sabar itu ada batasnya. Ini adalah ungkapan orang yang sudah tidak mampu lagi bersabar. Allah mengajarkan kesabaran dan tidak pernah memberikan batas. Artinya, bersabar itu harus dilakukan terus hingga Allah mengganti musibah dengan kenikmatan.

Orang yang mengatakan sabar ada batasnya, sesungguhnya ia tidak faham makna sabar. Sabar adalah pengakuan seorang hamba, bahwa segala musibah itu adalah dari Allah. Karena itulah ia tanggung segala cobaan ini dengan mengharap pahala dari Allah.

Dengan penjelasan makna sabar seperti ini, orang yang tidak mau bersabar terhadap cobaan dunia yang menimpanya, maka musibah itu bisa berpindah kepada agamanya. Sebab di dalam ketidak sabaran terhadap musibah itu terkandung sikap berpaling dan ingkar tehadap taqdir yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Apalagi jika ia tertimpa musibah lalu mengadu ke dukun, ini adalah kebodohan dan musibah yang amat besar. Seorang ulama’ mengatakan, ”Orang yang bodoh adalah mengadukan Allah kepada makhluk. Ini adalah kebodohan yang luar bisa terhadap siapa yang diadukan dan yang dijadikan tempat mengadu. Yang diadukan adalah Dzat yang Maha sempurna, tempat mengadunya kepada makhluk yang lemah dan penuh kekurangan. Akankah kita mengadukan dzat yang Maha penyayang kepada orang yang tak bisa memberikan kasih sayang ?. Akankah kita mengadukan Dzat yang sempurna kepada makhluk yang terbatas ?. Akankah kita mengadukan Dzat yang Maha Perkasa kepada makhluk yang lemah ?. 

Marilah kita telaah kembali diri kita masing-masing. Marilah kita cermati hati kita masing-masing. Jika masih ada potensi-potensi munculnya musibah keagamaan di dalam diri kita, harus segera kita bersihkan. Kita cuci hati dan jiwa kita, semoga Allah memberikan hidayah, Allah menuntun kita di jalan-Nya yang lurus. Agar kita senantiasa meniti jalan lurus itu hingga akhir hayat kita. [ Amru ].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar